Fakta ini dapat Anda baca di harian Jawa Pos edisi 20-23 Juli 2008. Bila Anda tidak sempat membacanya, saya copy ini online dari halaman www.jawapos.com (bagian 3 dan 4 aja yah, udah cukup panjang, tapi udah inti cerita)
Bag 3: http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=13488Bag 4: http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=13652
Saya copy juga ke blog ini just in case JawaPos memindahkan archive file ini.
Kesimpulannya adalah: setan yang paling berbahaya memang adalah yang berwujud manusia. Ibarat ada asap ada api, karakter Purwanto yang munafik dan berkuasa menekan dan memeras Sumiarsih, ‘rekan bisnisnya’ yang ditikamnya sendiri dari belakang. Walhasil, orang yang kepepet pun ‘ketularan’ kesetanan.
Saya kira pada jaman Soeharto dulu wartawan akan berpikir dua ribu kali untuk menelanjangi kebenaran ini dan menghadapkannya kepada publik. Sekarang kita tahu, apa dan siapa itu Purwanto. Saya kira selain kebiadaban Sumiarsih mengeksekusi Purwanto tahun 1988 itu, Purwanto juga punya sisi kebiadaban tersendiri. Menyalahgunakan wewenang, jabatan, dan kekuasaan, suatu hal yang tidak pantas dilakukan seorang perwira, tapi terlalu amat sangat sering disalahgunakan terutama pada waktu itu.
Hukum Tuhan adalah hukum yang paling adil. Dulu semua manusia yang mengetahui cerita ini berpihak kepada kel. Purwanto. Kini Anda tahu, dan kita tentu sadar, Tuhan jauh lebih adil daripada kita semua dan Ia telah bertindak adil sejak awal cerita ini terjadi.
Hikmah dari kejadian ini adalah suatu tragedi sosial, seorang yang tidak punya keahlian kecuali menjual diri, membuka bisnis prostitusi, seorang oknum perwira mafia yang haus seks dan uang, pertemuan keduanya menghasilkan ini. Saking besarnya tragedi ini, yang satu dulu pantas dibunuh menurut yang satunya, dan yang satunya itu sekarang pantas dibunuh berdasarkan hukum, duh … padahal semua bermula dari ‘mencari makan tanpa keahlian.’
Semoga Tuhan mengampuni mereka semua. Semua yang diawali tidak baik sulit berakhir baik.
BAGIAN 3Berita Utama
[ Selasa, 22 Juli 2008 ]
Kisah Hidup ”Mami Rose” Sumiarsih Menuju Eksekusi Mati (3)
Terjebak Kongsi Wisma Bordil di Gang Dolly
Setelah sukses mengembangkan “karir” dan memupuk modal diJakarta, Sumiarsih memutuskan pulang ke kampung halaman. Bersama suamibaru, dia lalu membuka bisnis esek-esek di Surabaya. Berikut penuturanlangsung wanita itu kepada ITA SITI NASYIAH.
—
Denganuang yang rutin aku kirim dari Jakarta, rumah kami di desa yang duludari gedheg (anyaman bambu) dibangun dengan batu bata. Bahkan, rumahkami sudah jadi rumah gedong menyamai rumah Pak Lurah. Sugeng jugasudah bisa bersepeda. Empat adikku semuanya sudah mengenakan perhiasandi leher, jari, maupun tangan.
Pergaulan high class-ku(sebagai hostes) di Jakarta berimbas pada kehidupan pribadiku. Aku jadiemoh tinggal di desa terpencil, seperti Ploso. Agar terlihat sepertiorang kota, aku pun membeli rumah di kota Jombang. Tepatnya di JalanGajah Mada. Ini kulakukan agar adik-adikku tidak terlalu jauh jikapergi sekolah. Maklumlah, saat itu sekolah yang bagus hanya ada di kotakabupaten. Aku ingin adik-adik dan anakku bisa menikmati fasilitasterbaik.
Kepindahan kami ke kota seperti kampanye. Yangmengiring ratusan. Saking banyaknya yang ikut, untuk mengangkut mereka,orang tuaku menyewa truk.
Manisnya Jakarta terus kureguk.Ibarat minum air laut, aku selalu kehausan, demikian juga dengandiriku. Kian hari kian ketagihan. Aku lupa daratan. Norma-norma agamasudah kulanggar semua. Aku juga sudah terbiasa hidup tanpa ikatan.
Penghasilanku makin besar jika aku di-BL (booking luar).Saat itu, rasanya, uang itu tidak ada artinya. Sambil menimang uanggebokan, pikiran jelekku keluar. ”Kenapa tidak dulu-dulu sepertiini,” ucapku dalam hati. Hotel Indonesia -saat itu paling besar danpaling terkenal- jadi tempatku mangkal sehari-hari.
Aku pernahikut (di-BL) kunjungan kerja seorang menteri ke Batam selama seminggu.Pulangnya, uang yang diberikan bisa kupakai beli mobil (Suzuki) Carrybaru. Ya, hitung sendiri deh, berapa kira-kira.
Dampaklain dari profesiku itu, aku juga sudah keliling Indonesia. Apalagijika bukan mengikuti ”kunjungan” para pejabat. Ya, itung-itung,sambil kerja, aku juga bisa piknik gratis, gitulah.
Saatke Jakarta dan bekerja sebagai hostes, awalnya aku sudah bertekad tidakjatuh cinta kepada lelaki mana pun. Namun, Hasan Winarya, seorang priaberistri dan beranak, berhasil mencuri perhatianku. Ketelatenan dankelembutan pria keturunan China Lampung itu menjadikan hatiku terlena.Aku benar-benar mabuk oleh perhatiannya. Mungkin, perasaan itu tumbuhlantaran di Jakarta aku hidup sendiri.
(Dari Hasan Winarya,seorang pengusaha kontraktor ibu kota saat itu, Sumiarsih mendapathadiah rumah di kawasan Senayan, Jakarta. Dari hasil hubungan itu,lahir Rose Mey Wati, perempuan, anak kedua, yang saat berusia empatbulan dititipkan ke neneknya di Jombang).
***
Karenatak kunjung dinikahi dan terus didamprat dan iba dengan istri dananak-anak Hasan Winarya, Sumiarsih lalu memutus hubungan dengan Hasan.Dia lalu memutuskan kembali ke Jombang.
Di sisi lain, kembalinyaRose alias Sumiarsih ke Jombang menjadikan buah bibir tersendiri dikampung halamannya. Tak sedikit lelaki yang coba-coba mendekatinya.Maklum, Rose memang cantik. Di antara lelaki yang tertarik kepada Roseadalah Djais Adi Prayitno. Duda dua anak tersebut terang-teranganmengatakan ingin mempersunting dia.
”Nganpunten (maf) lho,Mas. Saya tidak ingin pacaran lagi. Malu. Sudah tua. Saya mencari calonsuami,” kata Rose kepada Prayit ketika lelaki itu menyampaikan isihatinya.
Sebaliknya, lelaki berkaca mata itu gembira denganketegasan Rose. ”Kalau Jeng Sih mau mencari suami, saya siap menikah.Kapan pun diminta,” ujarnya menimpali kalimat Rose.
Rosemengatakan sebetulnya masih mencintai Hasan Winarya, ayah Wati. Namun,Sumiarsih melihat Prayit sabar dan bertanggung jawab. Sadar bahwa diabutuh pendamping untuk menata hidupnya ke depan, Rose pun menerimapinangan Prayit -panggilan akrab Djais Adi Prayitno- untuk menikah.
Sumiarsihmemang tak punya keahlian selain pengalamannya menjadi hostes danmengelola salon plus (beberapa kapsternya juga wanita panggilan) diKebayoran Baru, Jakarta. Karena itu, setelah menikah dengan Prayit,keduanya memutuskan membuka binis esek-esek. Pilihannya jatuh ke Dolly,kawasan pelacuran terkenal di Surabaya.
Launching rumahbordil dua lantai Happy Home (HH) dilakukan pada awal 1975. Rumahberukuran 8 x 15 meter itu diharapkan jadi tumpuan hidup keluarga.Letaknya di gang Dolly bernomor 2B. Pada awal pembukaan HH, Mami Rose-panggilan akrabnya di Dolly, hanya menampung sepuluh orang pekerjaseks komersial (PSK). Tapi, yang membuat wisma HH jadi harum karena PSKdi sana masih sangat belia dan cantik-cantik. Usianya berkisar 15tahun.
Para PSK itu direkrut secara terang-terangan. Becermindari pengalaman hidup Sumiarsih, para remaja itu berasal dari kalangantidak mampu. Mereka ini adalah korban perdagangan wanita. ”Kowegelem gak melu ngladeni tamu nang omahku Suroboyo. Tugasnya ngancaningombe. Tapi, nek tamu ngajak turu, kowe yo kudu gelem. (Kamu mauikut menemani tamu di rumahku Surabaya? Tugasmu menemani minum. Tapi,kalau tamu minta dilayani tidur, kamu harus mau),” ujar Mami RoseSumiarsih kepada para calon PSK saat wawancara. Karena terdesak faktorekonomi, rata-rata gadis yang datang kepada Rose bersedia secara sukarela.
Para PSK yang dikaryakan kebanyakan janda muda denganberbagai problem. Ada yang ditinggal kawin suami, ada yang suamipengangguran, dan tidak sedikit wanita yang punya anak tanpa bapak.Tarif short time PSK di HH Rp 25 ribu. Dari jumlah itu, Mami Rose dapat 70 persen.
Berbedadengan para mucikari lain, setoran yang 70 persen itu diolah lagi olehMami Rose. Sebesar 50 persen masuk kantong pribadi, 10 persen biayamakan dan minum PSK, dan 10 persen untuk biaya kursus. Untuk yangterakhir itu, PSK biasanya sekolah modes di daerah Pasar Kembang yangtak jauh dari Gang Dolly.
”Kalian-kalian tidak boleh selamanyajadi balon (PSK). Di sini kamu semua harus mentas setelah tabunganmucukup,” kata Rose saat membrifing anak buahnya sebelum diterjunkan kelembah hitam.
Selain tamu dari kalangan biasa,Wisma HH kerapdidatangi lelaki dari kalangan tentara. Salah seorang di antara lelakiitu tidak lain adalah Letkol Marinir Purwanto. Bapak tiga anak itupunya jabatan prestisius: kepala Primer Koperasi Angkatan Laut(Primkopal) di Pangkalan Angkatan Laut, Ujung, Surabaya. Sepertipengunjung yang lain, Purwanto kerap bersenang-senang dengan anak buahSumiarsih.
Yang membuat Mami Rose girang, kehadiran Purwantodianggap sebagai ”pelindung”. Maklumlah, dunia hitam seperti iturentan berbagai kejahatan dan keributan.
Suatu hari, saatmenyambangi Wisma HH, Purwanto mengajak omong-omong serius Mami Rose.”Mi, kalau aku buka usaha (membuka rumah bordil di Dolly) sepertipunyamu, apa masih laku ya,” kata Purwanto seperti ditirukan Sumiarsih.
Pucuk dicita ulam tiba. Tawaran ini bersambut. Mami Rose mengakui ”penghuni” HH sudah overload.Sebelumnya, Rose berpikir ingin melebarkan sayap. Namun, untukmemperluas bangunan, tidak mungkin karena tanahnya terbatas. Maumembeli rumah baru, uangnya juga belum mencukupi. ”Kebetulan sekali,kalau Pak Pur mau bikin di sini,” kata Rose terus terang.
Berkatkongsi usaha dengan Puwanto itu, tepat pada ulang tahun kelima Wisma HH(1980), Mami Rose membuka “cabang” kedua. Kebetulan, ada wisma yangdijual pemiliknya karena bangkrut. Rumah itu bernomor 1A atau berjarakdua rumah dari Wisma HH. Oleh Mami Rose, rumah bordir baru itudiberi-nama Wisma Sumber Rejeki (SR).
Usai merayakan peresmianSR, Mami Rose, Prayit, dan Purwato -yang menjadi pengelola dan“pemegang saham”- terlibat diskusi serius. Yakni, mematangkan sistembagi hasil usaha barunya. ”Sebagai pemilik, aku minta kamu setor Rp 25juta per bulan. Tidak boleh telat. Gimana, Mi,” kenang Rose tentang kalimat Purwanto.
Sejenakberpikir, Mami Rose, yang kala itu mengenakan rok terusan warna hitambunga-bunga merah, mencoba menawar. ”Ya, jangan segitu toh, Pak Pur. Ini kan usaha baru. Anak-anaknya juga belum banyak. Kita juga belum tahu sambutan pasar,” kata Mami Rose coba berdalih.
Setelah melalui perdebatan sengit, mereka bertiga sepakat setor Rp 22juta per bulan. Setiap tahun, setoran selalu meningkat Rp 1 juta perbulan. Setiap keterlambatan Purwanto -yang sudah terbiasa mengelolausaha di koperasi itu- mengenakan denda. ”Nggih, Pak. Menawi ngaten, tiap tanggal 1 kita akan kirimkan uangnya ke Bapak,” kata Rose.
Banyaknyaanak buah (PSK) yang diasuh menjadikan masalah bagi Mami Rose. Terutamamasalah keuangan. Ada yang pinjam uang untuk biaya anak sakit, sekolah,modal untuk tanam padi desa, dan sebagainya. Jika tidak punya uang,Sumiarsih pinjam kepada teman kongsinya, Purwanto. Lambat laun, utangRose semakin berbukit. Apalagi, semua tidak sekadar pinjam, tapi adabunganya. Belum lagi jika terlambat membayar jatah setoran bulanan.“Ada denda 10-20 persen,” ujar Rose.
Suatu hari, Rose pernahmenyetor uang bagian Purwanto hingga Rp 40 juta. Padahal, sesuaiperjanjian, bagian Purwanto hanya Rp 25 juta. Sisa yang Rp 15 juta itumerupakan bunga keterlambatan dan cicilan utang. ”Pak Pur, mbok kalau bisa, saya diberi keringanan. Banyak anak-anak yang belum bisa bayar utang ke saya. Jadi, saya yang harus nombokidulu,” kata Rose coba menawar. Bukan kata-kata halus yang didapat.Wanita yang telah ikut membesarkan SR tersebut malah dibentak dengangebrakan meja. ”Gak iso. Iku harga mati. Koen lak wis janji. Ojok main-main karo aku lho, yo,” kata Pur.
Bukanitu saja. Purwanto juga kerap menakut-nakuti dengan pistol jika Rosedan Prayit sedikit mengulur setoran. Alasan perwira TNI-AL tersebutbermacam-macam. Satu di antaranya adalah Rose telah mempekerjakan PSKdi bawah umur. Pelanggaran seperti itu, jika diketahui polisi, bisamembawa Sumiarsih ke penjara. Lelaki yang dulu dianggap backing usahanya kini menjadi musuh dalam selimut. (el)
BAGIAN 4Berita Utama
[ Rabu, 23 Juli 2008 ]
Kisah Hidup ”Mami Rose” Sumiarsih Menuju Eksekusi Mati (4-Habis)
Bawa Dua Anak untuk Luluhkan Hati Purwanto
Terus terlilit beban setoran yang berat membuat Sumiarsihmerancang pembunuhan terhadap Letkol Purwanto. Berikut penutup tulisanyang diambil dari buku Mami Rose yang ditulis ITA SITI NASYIAH.
—-
MENGELOLAdua rumah bordil sekaligus, Happy Home dan Sumber Rejeki, nama MamiRose cukup kondang di lokalisasi Gang Dolly. Kalau sedang mujur,semalam satu wisma bisa memberikan laba bersih Rp 2 juta. Di ataskertas, kalau bisnis berjalan normal, sebulan Sumiarsih dari dua wismabisa mengumpulkan Rp 120 juta. Itu angka yang fantastik untuk ukuranusaha pada 1980-an.
Di kalangan pria hidung belang, wismamilik Mami Rose itu cukup atraktif. Wanita itu kerap mendatangkanpenyanyi-penyanyi dangdut dengan pengiring musik live di malam hari. Dia juga mempekerjakan bartender khusus yang harus hafal minuman masing-masing pelanggan.
Namun,usaha prostitusi seperti itu tetaplah rentan. Gangguan yang sepele sajabisa mengganggu jalannya usaha. Padahal, khusus untuk Wisma SumberRejeki, hasil kongsi Mami Rose dengan Letkol Purwanto, dia punyakewajiban setor Rp 22 juta per bulan.
Suatu kali, dua wismaitu sepi selama seminggu. Itu terjadi karena ada operasi oleh PolresSurabaya Selatan terhadap laporan penculikan anak di bawah umur. Adatengara, gadis berusia 12 tahun itu dijual di Gang Dolly. Setelahdigerebek, anak itu ditemukan di sebuah wisma di sana. Akibatnya,transaksi seks di Gang Dolly menurun drastis.
”Piye yo, Pak, cara ngadepi Pak Pur. Mbok sampean toh sing mrono (BagaimanaPak cara menghadapi Pak Purwanto. Bapak saja yang menghadap ke dia),”kata Mami Rose kepada suaminya, Djais Adi Prayitno (Prayit). Mendengarkeluhan itu, Prayit malah menasihati agar Sumiarsih sendiri yangmenghadap. Siapa tahu, kalau wanita yang menghadap, hati Purwanto luluh.
Dengandiantar pakai mobil Suzuki Carry oleh anak tirinya (anak Prayit), Nano,dia berangkat ke rumah Purwanto di Jalan Dukuh Kupang Timur, Surabaya.Setelah Mami Roses menyampaikan permohonan keringanan akibat wisma yangsedang sepi itu, Purwanto menanggapi dengan tegas.
”Bah sepi. Bah rame. Nek awakmu nyetor telat, yo kudu mbungai. Titik! Wis, kono muliho. Ngganggu ae.(Biar sepi. Biar ramai. Kalau kamu setor terlambat, ya harus bayarbunga. Titik. Sudah, pulang sana. Mengganggu saja),” jawab Purwanto.
Sumiarsihpulang dengan air mata menggenang. Mami Rose bersyukur Nano yangmenunggu di luar tidak tahu bahwa di dalam tadi perwira marinir yangmasih aktif itu memarahinya habis-habisan.
Pada kali lain, saatliburan Ramadan, Sumiarsih sedang bahagia karena kedua anaknya, Watidan Sugeng, yang selama ini sekolah dan tinggal di rumah Jombangbersama nenek, liburan ke rumah keluarga Sumiarsih di Jalan KupangGunung Timur I/41, Surabaya.
Anak-anak Mami Rose itu pundiajak keliling kota seperti ke Toko Siola, Toko Nam, Taman HiburanRakyat (THR), dan kebun binatang. Namun, pada saat bersamaan, Mami Rosebingung karena usaha rumah bordilnya sedang sepi. Saat waktu membayarsetoran tiba, uang yang tersedia hanya Rp 20 juta.
Saat merekamau membayar setoran itu, anak-anak itu pun diajak ke rumah Purwanto.Harapan Sumiarsih, dengan mengajak anak-anak, kemarahan Purwanto bisaredam. ”Mugo-mugo ae Pak Pur gak ngamuk nek awak e dhewe teko bareng-bareng yo, Pak,” kata Rose kepada Prayit sebelum mereka berangkat.
KiatMami Rose jitu. Melihat rombongan yang dikuti Wati dan Sugeng itu,Purwanto lebih lunak saat Mami Rose mau menyampaikan setoran yang hanyaRp 20 juta. ”Yo, wis, kurang piro. Gowoen ae disik nek ngono. Tapi, tolong, tanggal 15 kudu onok sak bungae lho yo (Ya, sudah, uangnya dibawa dulu. Tapi, tolong, tanggal 15 harus dibayar bersama bunganya),” katanya.
Sambilberkata demikian, Purwanto tak henti-henti memandangi Wati. Entah apayang ada di dalam benaknya. Setelah itu, rombongan kecil itu meneruskanperjalanan menuju THR di Jalan Kusuma Bangsa.
Besok malamnya,sekitar pukul 20.30, Purwanto mengenakan jaket doreng berkunjung keWisma Sumber Rejeki, bersama tiga anak buahnya. Dia duduk di tengahpara PSK yang sedang mejeng di ruang tamu atau akrab dikenal sebagai”akuarium”. Dia minum sampai mabuk.
Pukul 23.30, Rose mendapati Purwanto keluar kamar. Dari mulutnya menyembur aroma alkohol. ”Sugeng dalu, Pak (Selamat malam, Pak),” sapa Mami Rose berbasa-basi. ”He’eh,” jawab Pur. Pur lalu bertanya soal setoran yang diantarkan kemarin.
”Sepertiyang saya sampaikan kemarin, masih ada Rp 20 juta. Kurang Rp 5 juta.Tapi, malam ini tadi ada pemasukan Rp 1 juta,” kata Mami Rose.Purwanto mendengarkan sambil berbaring di tempat tidur.
Sumiarsihmelirik Purwanto yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Heran,kali ini bapak tiga anak itu terlihat lebih sabar. Saat Purwantomengelurkan sebatang rokok, wanita itu pun membantu menyulut dari korekapi miliknya. ”Ora usah kok pikirke kekuranganne, Rose. Tapi, anakmu Wati kekno aku (Tidak usah kamu pikirakan kekurangannya. Tapi, anakmu Wati kasihkan aku),” katanya enteng.
Mendengar itu, tubuh Rose gemetar. Kakinya mendadak lemes. Seorang bodyguard wisma Sumber Rejeki, Bambang, yang kebetulan melintas heran mengetahui bosnya memegangi kepala. ”Ada apa, Mi, kokpucat,” tanya Bambang. Tanpa diminta, pria bertubuh kekar itumembopong Mami Rose ke kamar nomor 6 yang malam itu tidak dipakaipelanggan.
(Sejak peristiwa itu, Sumiarsih mengaku terusberusaha menyelamatkan Wati yang berwajah ayu dari Purwanto. Pada 1986,Wati menikah dengan Serda (Brigadir Polisi Dua) Adi Saputro. Namun,Purwanto tak berhenti mengejar Wati. Faktor itulah yang menyebabkan AdiSaputro sangat sakit hati).
Delapan tahun lebih kongsiPurwanto-Sumiarsih di Wisma Sumber Rejeki itu adalah saat-saat yangberat bagi Sumiarsih. Wanita itu sering defisit karena Purwanto selalumeminta setoran tetap dengan nilai yang terus naik tiap tahun. Bahkan,keterlambatan pembayaran pun dikenai penalti bunga.
Puncakkesulitan itu terjadi pada Agustus 1988. Saat itu, setoran bulanansudah menjadi Rp 30 juta. Angka itu belum memperhitungkan bunga karenasudah melebih tanggal 1. Purwanto memberikan deadline tanggal 15. Sumiarsih tidak kuat lagi. Suatu hari Sumiarsih mengungkapkan rencana jahat kepada Prayit: membunuh Purwanto.
SemulaPrayit tidak setuju. Tapi, setelah dimintai pendapatnya langkah apayang tepat untuk menghindari teror Purwanto, Prayit tak punya pilihan.Lelaki itu pasrah dan menyetujui ide Sumiarsih. Malam itu pula, pukul19.30 WIB, Mami Rose lantas memanggil kemenakan Prayit, Daim, di meja bartender. Lelaki muda itu dipekerjakan di wisma sebagai pengawas keuangan.
Setelah berada di dalam kamar, Rose meminta tolong agar Daim ikut membantu membunuh Purwanto. ”Kowe lak ya, lara ati ta, Im (Kamu juga sakit hati kan, Im). Yok apa nek(Bagaimana kalau) Pak Pur kita bunuh saja bersama-sama,” pinta Rosekepada Daim di dalam kamar. Daim sepakat dengan usul Sumiarsih. Sebab,Daim sendiri mengaku beberapa kali dipopor pistol hinggaberdarah-darah.
Namun, sebelum keluar kamar, Prayit kepadaDaim mengatakan agar minta bantuan Nano, anak Prayit dari istriterdahulu, yang tinggal di Putat Jaya Tembusan, Surabaya. ”Janganbertindak sendiri-sendiri, tunggu perintah kita selanjutnya, ya,” kata Prayit lagi. Daim manggut-manggut tanda mengerti.
Pada12 Agustus 1988, bertempat di Jalan Kupang Gunung Timur I/2B, Surabaya,rumah Sumiarsih yang lain, mereka berkumpul menyusun strategipembunuhan. Saat rapat itu, Rose juga memanggil menantunya, AdiPrayitno, yang sedang berada di Surabaya karena urusan dinas. Rapatkecil itu menyepakati menghabisi Purwanto dengan dipukul alu besi.
”Hati-hati, lho.Pak Pur itu tentara. Kuat. Jadi, harus membawa senjata sendiri-sendiri.Kita keroyok ramai-ramai. Kalau tidak, kita yang mati. Dia punya pistoldan juga bisa karate,” kata Prayit.
Tak seperti yang ditakutkanPrayit. Saat eksekusi pembunuhan terhadap Purwanto (dan empat anggotakeluarga yang lain) dilaksanakan di rumah Purwanto, siang hingga sorepada 13 Agustus 1988, hampir tidak ada perlawanan berarti. Para korban,termasuk yang tak berkaitan dengan kongsi rumah bordil, seperti istridan anak-anak Purwanto, mereka bunuh dengan cara yang sadis.
Watisendiri tidak menyangka bahwa sang ibu yang dianggap sebagai otakpembunuhan itu berbuat demikian nekat. Sejak Sumiarsih dan kakaknya,Sugeng, dieksekusi mati menyusul suaminya (Adi Saputro) yang terlebihdahulu menghadapi regu tembak, Wati kini hidup sebatang kara. ”Sayatidak mengira ibu tega berbuat itu. Sebab, yang saya tahu, ibu ituberhati lembut,” katanya. (el)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Almh sumiarsih sebenarnya bisamenjual sebagian asetnya utk melunasi hutang itu. Kenapa harus membunuh?
Posting Komentar